Rabu, 07 Oktober 2015

ANALISA PENYEBAB BANJIR AKIBAT HUJAN LOKAL DI DKI JAKARTA


Kota Administrasi Jakarta Pusat merupakan pusat dari Ibukota Negara dan sebagai kota Metropolitan, yang secara geografis 40% berada pada dataran rendah dengan elevasi di bawah  muka air laut sehingga sering terjadi genangan ataupun banjir, ada beberapa titik lokasi yang telah diidentifikasi sebagai daerah yang rawan genangan, salah satunya adalah  kawasan sekitar Monumen Nasional (Monas). Pola hujan di Jakarta yang memiliki tipe pola hujan monsun dengan puncak musim hujan antara bulan Desember hingga Februari menjadi salah satu penyebab timbulnya genangan ataupun banjir di kawasan Monas selain akibat rata-rata curah hujan bulanan yang cukup tinggi serta sistem drainase kota Jakarta yang kurang baik.
Permasalahan banjir ataupun genangan yang terjadi di sekitar Monas dapat terjadi akibat air hujan kiriman maupun hujan lokal yang terjadi akibat pengaruh kondisi ekstrem di sekitar langit Jakarta. Berdasarkan tugas yang diberikan, kami mencoba menganalisa penyebab banjir ataupun genangan yang terjadi di wilayah sekitar Monas karena hujan lokal yang terjadi di Jakarta pada tanggal 9 – 10 Februari 2015.

Permasalahan yang dihadapi Jakarta sebagai ibukota negara semakin berat dikarenakan adanya perluasan kota atau  proses urban sprawl  yang  merupakan bentuk bertambah luasnya kota secara fisik. Perluasan kota disebabkan oleh   perkembangnya penduduk dan semakin tingginya arus urbanisasi. Semakin bertambahnya penduduk kota menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap perumahan, perkantoran, dan fasilitas sosial ekonomi lain. Urban sprawl terjadi dengan ditandai adanya alih fungsi lahan yang ada di sekitar kota (urban periphery) mengingat terbatasnya lahan yang ada di pusat kota. Urban sprawl merupakan salah satu bentuk perkembangan kota yang dilihat dari segi fisik seperti bertambahnya gedung secara vertikal maupun horisontal, bertambahnya jalan, tempat parkir, maupun saluran drainase kota. Dampak dari pemekaran kota adalah semakin berkurangnya lahan subur produktif pertanian sehingga mengancam swasembada pangan karena terjadi perubahan peruntukan lahan pertanian menjadi lahan terbangun.

Pemekaran kota yang tidak terkendali (unmanaged growth) menyebabkan morfologi kota yang tidak teratur, kekumuhan (slum), dan permukiman liar (squatter settlement) dan kini Jakarta dikenal sebagai kota Megapolitan secara berkelanjutan, dikhawatirkan dalam lima tahun ke depan Jakarta akan mengalami stagnasi, sehingga tidak ada lagi lahan yang bisa dibangun dan penduduk Jakarta akan sangat sulit bergerak. 

Dalam rangka menanggulangi permasalahan banjir, pada tahun 2007 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merumuskan fokus kerja pengelolaan tata guna air permukaan dan tata guna air tanah di Provinsi DKI Jakarta yang tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta 2007 2012, terdapat sepuluh fokus kerja pengelolaan tata air yang menjadi arahan kebijakan umum pembangunan daerah (Herawati S. 2010):
a.         Memperlambat aliran air dari hulu melalui pembangunan waduk Ciawi, beberapa pintu air di Depok, dan sodetan Ciliwung Cisadane.
b.        Membangun sistem polder dan drainase.
c.         Memperbaiki dan membangun tanggul untuk mengantisipasi kenaikan pasang laut.
d.        Meninjau ulang (review) masterplan pengendalian banjir.
e.         Menertibkan dan menata sempadan kali, danau dan situ.
f.         Menyelesaikan Banjir Kanal Timur dan normalisasi Banjir Kanal Barat.
g.        Melakukan pengerukan muara, badan sungai, dan saluran yang menjadi tanggung jawab Provinsi DKI Jakarta.
h.        Memelihara, meningkatkan dan membangun sarana pengendali banjir.
i.          Menjalin kerjasama pengendalian banjir dengan Pemda Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur (Bodetabekjur), & Pemerintah Pusat.
j.          Mengefektifkan sistem peringatan dini.

Kawasan Monas sebagai salah satu areal Ruang Terbuka Hijau (RTH) tidak lepas dari permasalahan genangan. Kondisi saluran drainase di sekeliling Taman Monas tidak dapat berfungsi maksimal, hal ini ditandai dengan adanya genangan atau banjir sering terjadi dan mengganggu, terutama pada daerah vital dan penting, seperti Lapangan Monas baik dari sisi Utara, Selatan, Barat, Atau Timur. Kawasan Taman Monas tidak mampu menampung limpasan air akibat curah hujan deras. Ketersediaan ruas taman yang sedianya dimaksudkan sebagai lahan resapan air tidak dapat berfungsi maksimal karena terjadinya pengerasan atau sementasi tanah.

 
Kota Jakarta yang semakin berkembang memiliki dampak positif dan negatif, dampak positif yang terjadi diantaranya adalah semakin berkembangnya laju perekonomian, namun disamping itu perkembangan Kota Jakarta juga memiliki dampak negatif, diantaranya adalah adanya keterbatasan lahan kosong sehingga lahan untuk tata air juga akan semakin berkurang untuk itu dibutuhkan suatu program kerja yang terpadu untuk mengatasi banjir atau genangan.

1.                  Analisa Permasalahan
Kajian pengendalian banjir di kawasan Monas dimulai dengan melakukan pengumpulan data pendukung analisis, yang meliputi data topografi, permeabilitas tanah, peta lay out drainase eksisting, serta data hidrologi. Dari data-data tersebut dilakukan analisis hidrologi untuk memperkirakan hujan rencana, dan besarnya debit puncak dan dilakukan juga analisis hidraulika untuk mengetahui keadaan aliran di saluran mikro, dan saluran penghubung, dan analisis kapasitas tampang saluran.

2.                  Permasalahan yang Terjadi
Permasalahan genangan di Kawasan Monas menjadi sorotan dari berbagai pihak, mengingat daerah tersebut berada di jantung kota dan di pusat pemerintahan. Beberapa penyebab genangan atau banjir tersebut di Kawasan Monas teridentifikasi sebagai berikut:
a.         Kapasitas saluran yang tidak memadai untuk mengalirkan air hujan terutama pada saat intensitas hujan tinggi. Disamping itu juga pemeliharaan saluran yang kurang baik, dimana banyak dijumpai sampah dalam saluran.
b.        Drainase yang tidak berwawasan lingkungan, ditambah dengan kondisi tanah yang tidak mampu meresapkan air.
c.         Kurangnya tali-tali air yang berfungsi memaskkan air hujan ke dalam saluran
d.        Terdapatnya endapan lumpur (sedimentasi) pada saluran-saluran mikro, penghubung, sub makro maupun makro.
e.         Pengaruh pasang air laut yang berdampak pada efek pembendungan sehingga muka air di saluran primer relative tinggi.
f.         Penurunan muka tanah dan adanya kenaikan muka air laut akibat Global Warming.

3.                  Data-data yang Diperoleh
Data-data yang berhasil dikumpulkan sebagai acuan untuk menganalisa penyebab banjir ataupun genangan yang terjadi di wilayah sekitar Monas karena hujan lokal di Jakarta pada tanggal 9 – 10 Februari 2015 sebagai berikut:

Jenis Tanah
Kondisi tanah di kawasan Monas dapat dikaji dari data hasil pemeriksaan laboratorium untuk sampel tanah yang diambil secara undisturbed, serta data permabilitas tanah dari hasil pengujian permeabilitas di laboratorium. Data kondisi tanah tersebut disajikan sebagai berikut ini.

Tabel 1. Data Hasil Pengujian Laboratorium Mekanika Tanah


Tabel 2. Data Permeabilitas Tanah


Berdasarkan data tanah yang didapatkan, disimpulkan bahwa jenis tanah di kawasan Monas berupa tanah lempung coklat dan abu-abu dengan nilai kohesi c antara 0,192 – 0,298 kg/cm2, dengan permeabilitas tanah antara (4,6 – 8,7) 10-7 cm/dt yang mengindikasikan juga jenis tanah lempung. Jenis tanah lempung yang terdapat di kawasan Monas dengan nilai permeabilitas di atas menandakan kemampuan tanah untuk meresapkan air sangat kecil.

Penurunan muka air tanah dan Land Subsidence
Menurut data dari BPLHD, terjadi penurunan muka air tanah yang cukup signifikan mencapai 10 – 40 m selama 45 tahun, atau sekitar 0,2 – 0,9 m/tahun. Penurunan muka air tanah di Kota Administrasi Jakarta Pusat terjadi rata-rata sekitar 0,2 – 0,5 m/tahun. Penurunan muka air tanah ini disebabkan oleh pengambilan air tanah oleh industri dan perkantoran yang melebihi imbuhan air ke dalam tampungan air tanah. Data menunjukkan pengambilan air tanah di DKI saat ini mencapai 253 juta m3/th, defisit sekitar 67 juta m3/th terhadap ambang batas sebesar 186 juta m3/th. Imbuhan air tanah berasal dari air hujan, dimana per tahun rerata air hujan yang jatuh di DKI sekitar 2000 juta m3, 26% nya meresap mengisi air tanah dangkal. Dari 532 juta m3/th yang masuk ke tampungan air tanah dangkal tersebut, hanya 30 jt m3 yang mengisi tampungan air tanah dalam. Defisit air tanah tersebut berdampak pada terjadinya penurunan muka air tanah dan intrusi air asin.
Anilisis dari penurunan muka air tanah tersebut, memunculkan dampak terjadinya land subsidence yang menurut data dari JICA (1997), mencapai 5 – 10 cm/tahun di DKI. Sedangkan intrusi air asin sudah masuk ke daratan sejauh 3 km di air tanah dangkal dan mencapai 10 km di air tanah dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar