Perkerasan
jalan adalah campuran antara agregat dan bahan pengikat yang digunakan untuk
melayani beban lalu lintas. Agregat yang dipakai adalah batu pecah atau batu
belah atau batu kali ataupun bahan lainnya. Bahan ikat yang dipakai adalah
aspal, semen ataupun tanah liat. Struktur perkerasan jalan umumnya terdiri dari
beberapa lapisan bahan yang kuat untuk memastikan kekuatannya menahan baban
lalu lintas. Untuk perkerasan lentur yang dibahas pada tugas ini lapisan-lapisan
perkerasan terdiri dari :
a.
Lapisan permukaan, terdiri dari wearing course dan binder course. Lapisan ini berhubungan langsung dengan beban lalu
lintas dan umumnya menggunakan material berkualitas tinggi. Lapisan ini
mempunyai karakteristik diantaranya memberikan gesekan pada lapisan permukaan,
lapisan permukaannya halus, peredam suara, tahanan dorong, dan drainase, lapis
permukaan menahan air dari permukaan agar tidak masuk ke lapisan dibawahnya,
(lapisan dasar).
b.
Base
course, lapisan yang terdiri dari butiran yang berkualitas
tinggi atau material yang mampu menahan tegangan yang tinggi. Lapisan ini
merupakan komponen perkerasan lentur yang paling banyak menahan beban.
c.
Subbase,
lapisan ini berada di atas lapisan subgrade
dan dimaksudkan untuk mengurangi tegangan yang disalurkan dari lapisan
permukaan ke lapisan subgrade. Jika
butiran yang digunakan pada lapisan subgrade
memiliki kualitas yang baik dan diperuntukkan untuk mengantisipasi beban
yang kecil, maka laipsan subbase biasanya
tidak digunakan.
d.
Subgrade,
lapisan subgrade dapat menggunakan
material alami di lokasi pembangunan jalan ataupun menggunakan material yang di
datangkan dari tempat lain untuk di hamparkan pada lokasi pembangunan jalan. Performance perkerasan jalan dapat
ditinjau dari kualitas material dan juga tebal perkerasannya. Kegagalan
perkerasan umumnya dimulai dari lapisan paling bawah ke lapisan paling atas,
yang biasa digunakan untuk menentukan umur layan.
Gambar 1.
Lapisan Perkerasan Lentur
Sumber
: Journal of Engineering and Applied
Science, 2012
Meskipun
lapisan perkerasan sangat berperan dalam kemampuan layan, akan tetapi sukses
atau gagalnya suatu perkerasan tidak hanya bergantung pada kualitas material
yang berada di atas lapisan subgrade.
Kualitas bahan material yang digunakan bisa bermacam-macam, meskipun disarankan
menggunakan kualitas yang terbaik. Karena kegagalan perkerasan dimulai dari lapisan
dasar maka untuk dikatakan berhasil lapisan subgrade
bergantung pada tigakarakteristik dasar sebagai berikut :
1.
Load
Bearing Capacity
Lapisan Sub Grade harus mampu menahan beban yang disalurkan oleh struktur
perkerasan, load bearing capacity
sering kali dipengaruhi oleh tingkat pemadatan, kandungan kelembapan tanah, dan
jenis tanah. Lapisan subgrade yang
dapat menahan beban dalam jumlah besar tanpa terjadi deformasi berlebihan, maka
lapisan tersebut dikatakan baik.
2.
Kelambapan
Kelembapan banyak mempengaruhi
karakteristik tanah yang lain termasuk load
bearing capacity , kembang, dan susut. Kelembapan dipengaruhi oleh drainase,
tinggi muka air tanah, infiltrasi atau pengaruh retak pada perkerasan. Subgrade yang memiliki kandungan air
tinggi akan mengalami deformasi yang berlebih ketika menahan beban lalu lintas.
3.
Kembang Susut
Kembang dan susut tanah tergantung
pada kelembapan tanah. Selain itu, tanah dengan gradasi butiran yang berlebihan
rentan terhadap kembang dan susut ketika terjadi perubahan suhu yang besar.
METODE DAN ANALISIS PERBAIKAN TANAH
a.
Perbaikan Tanah Menggunakan Aspal
Stabilisasi didefinisikan sebagai suatu usaha untuk perbaikan
sifat-sifat tanah eksisting agar memenuhi spesifikasi teknis yang diharapkan.
Stabilisasi, apabila di desain dengan benar, dapat memberikan keuntungan secara
ekonomis dan lingkungan dalam aplikasinya pada rehabilitasi dan pembangunan
jalan. Stabilisasi tanah dapat terdiri dari salah satu atau beberapa tindakan,
yaitu : meningkatkan kerapatan tanah, Menambah material yang tidak aktif sehingga
meningkatkan kohesi dan atau tahanan gesek yang timbul, menambah bahan yang menyebabkan perubahan
kimiawi dan atau fisis tanah, menurunkan muka air tanah, atau mengganti tanah yang buruk, (Ausroad,1998).
Stabilisasi tanah dasar pada konstruksi jalan adalah suatu usaha untuk
memperbaiki sifat-sifat tanah eksisting agar memenuhi spesifikasi teknis. Pada
sistem struktur perkerasan jalan, sifat-sifat tanah tersebut diharapkan dapat
memberikan kontribusi kepada kualitas sistem perkerasan, (Ingles dan Metcalf,
1972).
Stabilisasi tanah untuk perkerasan jalan dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa bahan. Bahan-bahan tersebut adalah semen, kapur, aspal,
atau bahan-bahan kimia lainnya. Hasil stabilisasi tersebut umumnya menunjukkan
terjadinya perbaikan yang signifikan. Untuk memilih jenis stabilisasi yang
sesuai dapat digunakan pedoman seperti yang terdapat pada Tabel 1 (Ausroad,
1998) dan Gambar 1 (ASTM, 1997).
Tabel
1. Pemilihan Jenis Bahan Stabilisasi
Sumber :
Ausroad, 1998
Gambar 2. Jenis
Stabilisasi Tanah Berdasarkan Ukuran Butir dan Indeks Plastis
Sumber : ASTM, 1997
Stabilisasi dengan aspal didefinisikan sebagai suatu proses ketika
aspal dalam jumlah tertentu dicampurkan dengan tanah lunak atau agregat untuk
membentuk suatu kondisi tanah yang stabil sesuai yang disyaratkan sebagai
lapisan tanah dasar. Bahan stabilisasi berupa aspal tersebut akan meningkatkan
kohesi antar partikel dan daya dukung tanah serta meningkatkan ketahanan tanah
terhadap air.
Lapis pondasi bawah perkerasan suatu ruas jalan yang cukup panjang di
daerah yang relatif terpencil akan dibuat dari bahan setempat. Perbaikan tanah
ditujukan untuk meningkatkan daya dukung tanah (kemampuan mendukung beban) dan
mengurangi kemampuan mampatnya. Metode stabilisasi yang sudah dikembangkan
untuk tanah lempung lunak adalah metode stabilisasi kimia dengan kapur atau
semen. Tanah lempung memiliki karakteristik kembang susut yang tinggi. Jenis
tanah yang perlu diperhatikan salah satunya adalah tanah lempung ekspansif.
Disebut demikian karena tanah jenis ini umumnya mempunyai fluktuasi kembang
susut yang tinggi dan mengandung mineral yang mempunyai potensi mengembang (swelling potential) yang tinggi, bila
terkena air. Untuk tanah lempung ekspansif, kandungan mineral yang ada adalah
mineral montmorillonite yang
mempunyai luas permukaan paling besar dan sangat mudah menyerap air dalam
jumlah banyak bila dibandingkan dengan mineral lainnya, sehingga tanah
mempunyai kepekatan terhadap pengaruh air dan sangat mudah mengembang.
Pada perbaikan tanah menggunakan bahan bitumen sering digunakan tiga
jenis bahan yaitu aspal panas, aspal cair, dan aspal emulsi. Sifat-sifat fisik
yang diperbaiki pada tanah granular yaitu memberikan kohesi dan menambah
kekuatan. Sedangkan pada tanah kohesif pemberian bitumen yaitu tahan terhadap
air dan berkurangnya kekuatan akibat penambahan kadar air menjadi berkurang.
Stabilisasi tanah menggunakan aspal berbeda dengan stabilisasi tanah
menggunakan semen dan atau kapur. Fungsi aspal pada stabilisasi tanah
menggunakan aspal untuk tanah berbutir halus adalah sebagai campuran kedap air,
sedangkan untuk tanah berbutir kasar adalah sebagai campuran kedap air dan
pengikat. Kriteria yang diperlukan untuk suatu perancangan stabilisasi
menggunakan aspal adalah berdasarkan stabilitas dan ukuran butir.
Sumber : Austroads Inc, 1998
Lapis pondasi
atas pada perkerasan lentur
biasanya terdiri atas lapisan hasil pemadatan batu pecah, kerikil atau slag yang bergradasi tertentu, atau
bahan hasil stabilisasi. Sedangkan lapis pondasi bawah dapat terdiri atas bahan
yang sama seperti untuk lapis pondasi atas, tetapi dengan mutu yang lebih
rendah. Untuk memastikan bahwa tanah dasar tidak menerima tegangan berlebih,
maka lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah harus mempunyai tebal yang
memadai.
CBR yang harus dipenuhi bahan lapis
pondasi atas biasanya ditetapkan 100 persen. Namun
demikian, lapis pondasi pada perkerasan yang melayani lalu-lintas rendah
mungkin tidak menuntut bahan
bermutu tinggi, tetapi cukup bahan yang bermutu lebih rendah. Lapis pondasi
yang terdiri atas bahan
yang distabilisasi aspal atau semen dapat menghemat biaya, karena lapis
pondasi dengan bahan tersebut akan menjadi lebih tipis.
b.
Perbaikan Tanah Menggunakan Fly Ash
Fly ash adalah partikel halus yang merupakan endapan dari tumpukan bubuk
hasil pembakaran batubara yang dikumpulkan dengan alat elektro presipirator. Fly ash merupakan kategori limbah yang
mempunyai potensi tinggi digunakan dalam konstruksi (Setyawan, 2005).
Proses pembakaran batu bara pada PLTU menghasilkan limbah berupa
limbah cair dan limbah padat. Fly ash
dan Bottom Ash merupakan limbah padat
sisa pembakaran batu bara. Limbah cair antara lain (oily drain, aux drain, boiler cleaning, ash disposal area, coal pile
storage area, boiler blowdown, and FGD
blow down).
Menurut ASTM C618 fly ash
dibagi menjadi 2 kelas yaitu fly ash kelas
F dan fly ash kelas C. Perbedaan utama
dari kedua fly ash tersebut adalah
banyaknya unsur kalsium, silika, aluminium, dan kadar besi dalam ash.
1.
Fly ash kelas F merupakan fly ash
yang diproduksi dari pembakaran batu bara antrachite
atau bituminous, mempunyai sifat pozzolanic dan untuk mendapatkan sifat cementitious harus diberi penambahan quick lime, hydrated lime, atau semen. Fly
ash kelas F memiliki kadar kapur yang rendah (CaO < 10%).
2.
Fly ash kelas C merupakan fly ash
yang diproduksi dari pembakaran batu bara lignite
atau subbituminous yang mempunyai
sifat pozolanic serta self cementing (kemampuan untuk mengeras
dan menambah kekuatan apabila bereaksi dengan air tanpa penambahan kapur). Fly ash kelas C biasanya memiliki kadar
kapur (CaO) > 10%.
Gambar 3. Jenis – jenis Fly
Ash
Sumber : Google.com, 2016
Keuntungan menggunakan fly ash pada aplikasi geotechnical
engineering, seperti soil improvement
untuk konstruksi jalan adalah dari segi ekonomi, lingkungan, dan mengurangi shrinkage-cracking problem pada penggunaan
semen sebagai bahan stabilisasi. Salah satu penanganan lingkungan yang dapat
diterapkan adalah memanfaatkan limbah fly
ash untuk keperluan bahan bangunan teknik sipil. Namun pemanfaatan limbah fly ash masih belum maksimal dilakukan.
Fly ash memiliki kandungan SiO2, Al2O3,
P2O5, dan Fe2O3 yang cukup tinggi sehingga abu batubara (fly ash) memenuhi kriteria sebagai bahan yang memiliki sifat semen
atau pozzolan (Misbachul Munir,
2008). Penambahan fly ash pada tanah
ekspansif dimaksudkan agar terbentuk reaksi pozzonic yaitu reaksi antara
kalsium yang terdapat pada fly ash
dengan alumina dan silikat yang terdapat pada tanah sehingga menghasilkan massa
yang keras dan kaku (Gogot Setyo Budi et al. 2003).
Untuk kandungan fly ash sendiri yang diambil dari beberapa sumber diambil dari
beberapa sumber adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Kandungan Fly ash
Sumber : Rahmi, 2006
Setyo-budi, et al (2003) melakukan
penelitian dengan melakukan variasi penambahan fly ash sebesar 0%, 10%, 15%, 20%, dan 25%, hasilnya sebagai
berikut :
Gambar 4.
Pengaruh Penambahan Fly ash terhadap
Kekuatan Tanah
Sumber
: Gogot Setyo-budi, 2003
Apabila tanah tersebut
dicampur fly ash dengan presentase
25% dan di curing selama 28 hari maka dapat meningkatkan kekuatan tanah
mencapai 300% dari tanah asli.
Pengaruh
pencampuran fly ash terhadap nilai
CBR dikarenakan reaksi pozzolanic, Reaksi ini mengakibatkan meningkatnya daya
ikat antar butiran tanah sehingga membentuk tanah yang lebih keras dan kaku, keadaan
tanah yang seperti ini lah yang menjadikan nilai CBR yang lebih besar
dibandingkan tanah asli tanpa penambahan bahan stabilisasi (fly ash).
Tabel 4. Pengujian CBR Terendam (Unsoaked)
Sumber : Ahmad Ismail,
2015
Namun
pada campuran tanah asli dengan 20% fly
ash nilai CBR lebih kecil daripada saat kadar fly ash 15%. Hal ini dikarenakan, terlalu banyak nya kadar fly ash sebagai bahan adiktif atau
dengan kata lain, berlebihnya kandungan kalsium sebagai pengikat sedangkan
kandungan alumina dan silikat menjadi lebih sedikit sehingga ikatan yang
terbentuk antar butiran tanah dan butiran fly
ash tidak kuat. Keadaan ini mengakibatkan daya dukung tanah menjadi lebih
kecil.
Campuran tanah dan fly ash mempunyai perilaku yang berbeda tergantung
variasi campurannya. Untuk mengetahui pengaruh fly ash terhadap tanah lempung dilakukan pengujian berat jenis
(specivic gravity), batas konsistensi, gradasi butiran, CBR (calibration bearing
ratio) dan kuat tekan bebas.
Hasil uji (Gs) dengan
variasi persentase campuran tanah dan fly
ash, menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan nilai berat jenis. Pengaruh penambahan
persentase fly ash terhadap nilai
batas konsistensi. Berdasarkan hasil uji batas cair (LL), penambahan fly ash menyebabkan penurunan nilai batas
cair. Hal ini mengindikasikan telah terjadi penyelimutan antara fly ash dengan butiran tanah lempung,
yang mengakibatkan butiran lempung sulit menggelincir saat uji batas cair,
sehingga batas cairnya turun.
Berdasarkan uji batas
plastis (PL), penambahan fly ash
mempunyai kecenderungan turun, hal ini disebabkan sifat plastis dan susut tanah
lempung dipengaruhi fly ash.
Dari hasil uji CBR
diperoleh data, tanah lempung asli dari lapangan memiliki nilai CBR yang lebih
kecil apabila dibandingkan dengan tanah yang telah distabilisasi. Pada CBR
tanpa perendaman persentase nilai tanah asli yaitu 22,2% sedangkan persentase
nilai CBR dengan perendaman yaitu 3,00%. Persentase nilai CBR teertinggi tanah
lempung tercapai pada kondisi penambahan additive 7,5% dengan masing- masing
nilai pada CBR perendaman 8,60% dan CBR tanpa perendaman yaitu 38,00%.
Hasil uji batas
konsistensi (batas – batas atterberg limits) campuran tanah
dengan penambahan persentase fly ash di bandingkan tanah asli menunjukkan
batas cair (LL) mengalami penurunan dan batas plastis (PL) cenderung menurun,
maka Indeks Plastissitasnya (IP) menurun. Penambahan fly ash pada tanah asli menyebabakan perubahan gradasi butiran
yaitu persentase fraksi kasar akan bertambah. Penambahan fly ash pada tanah ekspansif dengan prosentse fly ash yang tepat dapat meningkatkan nilai CBR tanah (subgrade). Sehingga tanah lempung ekspansif
dapat dijadikan sebagai lapisan pondasi dasar (subgrade) jalan apabila terlebih dahulu dilakukan stabilisasi pada
tanah tersebut.
3.
Perbaikan
Tanah Menggunakan Semen
Stabilisasi
tanah dengan semen diartikan sebagai pencampuran antara tanah yang telah
dihancurkan, semen dan air, yang kemudian dipadatkan sehingga menghasilkan
suatu material baru disebut Tanah – Semen dimana kekuatan, karakteristik
deformasi, daya tahan terhadap air, cuaca dan sebagainya dapat disesuikan
dengan kebutuhan untuk perkerasan jalan, pondasi bagunan dan jalan, aliran
sungai dan lain-lain (Kezdi, 1979 : 108).
Tujuan tata cara ini
adalah untuk mendapatkan komposisi dan mutu stabilisasi tanah dengan semen
sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta mencegah kegagalan dalam pelaksanaan
dilapangan dalam pekerjaan konstruksi.
Jenis – jenis semen
menurut SNI antara lain Semen Portland
Putih, Semen Portland Pozolan, Semen Portland, Semen Portland Campur, Semen
Mansonry, dan Semen Portland Komposit. Jenis semen yang biasa digunakan adalah
semen Portland tipe 1, tipe yang paling umum digunakan.
Masalah
yang dihadapi dalam penggunaan semen tipe ini adalah pada saat digunakan pada
tanah yang mengandung kadar air serta bahan organic, sulfat dan garam-garaman
dalam kadar yang tinggi. Kendala lain dari penggunaan semen tipe ini adalah
penyerapan air untuk hidrasi semen dan reaksi awal relative kecil yaitu 28 %
dari berat semen serta dapat terjadi keretakan.
Penambahan
semen akan meningkatkan daya dukung tanah dan memperbaiki daya tahan tanah
terhadap air (swelling rendah) sehingga durabilitasnya meningkat. Kandungan
semen yang tinggi tidak akan berdampak baik karena berpengaruh terhadap
kekuatan campuran (cracking).
Tahapan
Proses Kimia pada Stabilitas Tanah Menggunakan Semen :
a.
Absorbsi Air dan reaksi Pertukaran Ion
Bila Semen Portland ditambahkan
pada tanah, ion kalsium Ca++ dilepaskan melalui proses hidrolisa dan pertukaran
ion berlanjut pada permukaan partikel-partikel lempung. Dengan reaksi ini
partikel-partikel lempung menggumpal sehingga mengakibatkan konsistensi tanah
menjadi lebih baik.
b.
Reaksi Pembentukan Kalsium Silikat dan
Kalsium Aluminat
Secara umum hidrasi adalah sebagai
berikut :
2(3CaO.SiO2) + 6H2O 3CaO.2SiO2 .
3H2O+3Ca(OH)2
2(2CaO.SiO2) + 4H2O 3CaO.2SiO2 .
3H2O+ Ca(OH)2
Dari reaksi-reaksi kimia tersebut
diatas, maka reaksi utama yang berkaitan dengan kekuatan ialah hidrasi dari
A-lit (3CaO.SiO2) dan B-lit (2CaO.SiO2). Sehingga membentuk kalsium silikat dan
kalsium aluminat yang mengakibatkan kekuatan tanah meningkat.
4.
Perbaikan
Tanah Menggunakan Kapur
Tanah
lempung mempunyai sifat-sifat yang tidak menguntungkan, seperti Bearing Ratio (CBR) rendah, kembang
susut (swelling) tinggi sehingga
apabila dipergunakan untuk tanah dasar (subgrade) jalan akan menghasilkan suatu
konstruksi yang tidak optimal hasilnya (cepat rusak). Untuk itu, jika akan
dipergunakan suatu konstruksi sebaikan nilai Bearing Ratio dinaikkan agar mampu
menahan beban di atasnya, kembang susut (swelling)
diturunkan agar volume tanah stabil bila kena hujan tidak mengembang sebaliknya
bila musim kemarau tidak meyusut terlalu tinggi sehingga retak-retak pada jalan
bias dikurangi atau dihilangkan.
Kriteria
yang dipakai untuk menilai memuaskan atau tidaknya stabilisasi, didasarkan
faktor kekuatan dengan menggunakan parameter kepadatan kering maksimum (d) dan
CBR, swelling. CBR merupakan ukuran
daya dukung tanah yang dipadatkan dengan daya pemadatan tertentu dan kadar air
tertentu dibandingkan dengan beban standard pada batu pecah. Dengan demikian,
besaran CBR adalah persentase atau perbandingan daya dukung tanah yang diteliti
dan daya dukung batu pecah standar pada nilai penetrasi yang sama (0,1 inch dan 0,2 inch). CBR laboratorium diukur dalam dua kondisi, yaitu kondisi
tidak terendam disebut CBR unsoaked
dan kondisi terendam atau disebut CBR soaked.
Pada umumnya CBR soaked lebih rendah
dari CBR unsoaked. Namun demikian
kondisi soaked adalah kondisi yang
serinng dialami di lapangan, sehingga di dalam perhitungan konstruksi bangunan,
harga CBR soaked yang dipergunakan
sebagai dasar perhitungan karena dalam kenyataannya air selalu mempengaruhi konstruksi
bangunan.
Potensi
pengembangan tanah dengan berbagai nilai indeks plastisitas (IP) dapat dilihat
dalam Tabel 5. Ada dua alasan lempung lebih diperhatikan. Pertama, cukup banyak
masalah tanah dalam praktik perekayasaan dan salah satunya masalah lempung.
Yang kedua, kapur hanya efektif sebagai bahan stabilisasi pada tanah yang
mengandung lempung cukup banyak.
Tabel
5. Potensi Pengembangan Berbagai Nilai Indeks Plastisitas
Sumber : Chen, 1975
Tidak ada komentar:
Posting Komentar