Kota Administrasi Jakarta Pusat merupakan pusat dari Ibukota Negara dan sebagai kota Metropolitan, yang secara geografis 40% berada pada dataran rendah dengan elevasi di bawah muka air laut sehingga sering terjadi genangan ataupun banjir, ada beberapa titik lokasi yang telah diidentifikasi sebagai daerah yang rawan genangan, salah satunya adalah kawasan sekitar Monumen Nasional (Monas). Pola hujan di Jakarta yang memiliki tipe pola hujan monsun dengan puncak musim hujan antara bulan Desember hingga Februari menjadi salah satu penyebab timbulnya genangan ataupun banjir di kawasan Monas selain akibat rata-rata curah hujan bulanan yang cukup tinggi serta sistem drainase kota Jakarta yang kurang baik.
Permasalahan banjir ataupun genangan yang terjadi di sekitar Monas dapat terjadi akibat air hujan kiriman maupun hujan lokal yang terjadi akibat pengaruh kondisi ekstrem di sekitar langit Jakarta. Berdasarkan tugas yang diberikan, kami mencoba menganalisa penyebab banjir ataupun genangan yang terjadi di wilayah sekitar Monas karena hujan lokal yang terjadi di Jakarta pada tanggal 9 – 10 Februari 2015.
Permasalahan
yang dihadapi Jakarta sebagai ibukota negara semakin berat dikarenakan adanya
perluasan kota atau proses urban
sprawl yang merupakan bentuk bertambah luasnya kota secara
fisik. Perluasan kota disebabkan oleh perkembangnya penduduk dan
semakin tingginya arus urbanisasi. Semakin bertambahnya penduduk kota
menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap perumahan,
perkantoran, dan fasilitas sosial ekonomi lain. Urban sprawl terjadi dengan ditandai adanya alih fungsi lahan yang
ada di sekitar kota (urban periphery)
mengingat terbatasnya lahan yang ada di pusat kota. Urban sprawl merupakan salah satu bentuk perkembangan kota yang
dilihat dari segi fisik seperti bertambahnya gedung secara vertikal maupun
horisontal, bertambahnya jalan, tempat parkir, maupun saluran drainase kota.
Dampak dari pemekaran kota adalah semakin berkurangnya lahan subur produktif pertanian
sehingga mengancam swasembada pangan karena terjadi perubahan peruntukan lahan
pertanian menjadi lahan terbangun.
Pemekaran kota yang tidak terkendali (unmanaged
growth) menyebabkan morfologi kota yang tidak teratur, kekumuhan (slum), dan permukiman liar (squatter settlement) dan kini Jakarta
dikenal sebagai kota Megapolitan secara berkelanjutan, dikhawatirkan dalam lima
tahun ke depan Jakarta akan mengalami stagnasi, sehingga tidak ada lagi lahan
yang bisa dibangun dan penduduk Jakarta akan sangat sulit bergerak.
Dalam rangka
menanggulangi permasalahan banjir, pada tahun 2007 Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta merumuskan fokus kerja pengelolaan tata guna air permukaan dan tata
guna air tanah di Provinsi DKI
Jakarta yang tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) DKI Jakarta 2007 – 2012, terdapat sepuluh fokus kerja pengelolaan tata air yang menjadi arahan
kebijakan umum pembangunan daerah (Herawati S. 2010):
a.
Memperlambat
aliran air dari hulu melalui pembangunan waduk Ciawi, beberapa pintu air di Depok, dan sodetan Ciliwung – Cisadane.
b.
Membangun
sistem polder dan drainase.
c.
Memperbaiki dan
membangun tanggul untuk mengantisipasi kenaikan pasang laut.
d.
Meninjau ulang (review) masterplan pengendalian banjir.
e.
Menertibkan dan
menata sempadan kali, danau dan situ.
f.
Menyelesaikan
Banjir Kanal Timur dan normalisasi Banjir Kanal Barat.
g.
Melakukan
pengerukan muara, badan sungai, dan saluran yang menjadi tanggung jawab Provinsi DKI Jakarta.
h.
Memelihara,
meningkatkan dan membangun sarana pengendali banjir.
i.
Menjalin
kerjasama pengendalian banjir dengan Pemda Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Cianjur (Bodetabekjur), & Pemerintah Pusat.
j.
Mengefektifkan
sistem peringatan dini.
Kawasan Monas sebagai salah satu
areal Ruang Terbuka Hijau (RTH) tidak lepas dari permasalahan genangan. Kondisi
saluran drainase di sekeliling Taman Monas tidak dapat berfungsi maksimal, hal
ini ditandai dengan adanya genangan atau banjir sering terjadi dan mengganggu,
terutama pada daerah vital dan penting, seperti Lapangan Monas baik dari sisi
Utara, Selatan, Barat, Atau Timur. Kawasan Taman Monas tidak mampu menampung
limpasan air akibat curah hujan deras. Ketersediaan ruas taman yang sedianya
dimaksudkan sebagai lahan resapan air tidak dapat berfungsi maksimal karena
terjadinya pengerasan atau sementasi tanah.
Kota Jakarta yang semakin berkembang
memiliki dampak positif dan negatif, dampak positif yang terjadi diantaranya
adalah semakin berkembangnya laju perekonomian, namun disamping itu
perkembangan Kota Jakarta juga memiliki dampak negatif, diantaranya adalah
adanya keterbatasan lahan kosong sehingga lahan untuk tata air juga akan
semakin berkurang untuk itu dibutuhkan suatu program kerja yang terpadu untuk
mengatasi banjir atau genangan.
1.
Analisa Permasalahan
Kajian pengendalian banjir di kawasan Monas dimulai dengan melakukan pengumpulan
data pendukung analisis, yang meliputi data topografi, permeabilitas tanah,
peta lay out drainase eksisting, serta data
hidrologi. Dari data-data
tersebut dilakukan analisis hidrologi untuk memperkirakan hujan rencana, dan
besarnya debit puncak dan dilakukan juga analisis hidraulika untuk mengetahui keadaan aliran di saluran mikro, dan
saluran penghubung, dan analisis kapasitas tampang saluran.
2.
Permasalahan yang Terjadi
Permasalahan genangan di Kawasan
Monas menjadi sorotan dari berbagai pihak, mengingat daerah tersebut berada di
jantung kota dan di pusat pemerintahan. Beberapa penyebab genangan atau banjir
tersebut di Kawasan Monas teridentifikasi sebagai berikut:
a.
Kapasitas saluran yang tidak memadai
untuk mengalirkan air hujan terutama pada saat intensitas hujan tinggi.
Disamping itu juga pemeliharaan saluran yang kurang baik, dimana banyak
dijumpai sampah dalam saluran.
b.
Drainase yang tidak berwawasan
lingkungan, ditambah dengan kondisi tanah yang tidak mampu meresapkan air.
c.
Kurangnya tali-tali air yang
berfungsi memaskkan air hujan ke dalam saluran
d.
Terdapatnya endapan lumpur
(sedimentasi) pada saluran-saluran mikro, penghubung, sub makro maupun makro.
e.
Pengaruh pasang air laut yang
berdampak pada efek pembendungan sehingga muka air di saluran primer relative
tinggi.
f.
Penurunan muka tanah dan adanya
kenaikan muka air laut akibat Global
Warming.
3.
Data-data
yang Diperoleh
Data-data
yang berhasil dikumpulkan sebagai acuan untuk menganalisa penyebab banjir ataupun genangan yang terjadi di wilayah
sekitar Monas karena hujan lokal di Jakarta pada tanggal 9 – 10 Februari 2015 sebagai
berikut:
Jenis Tanah
Kondisi tanah di kawasan Monas dapat
dikaji dari data hasil pemeriksaan laboratorium untuk sampel tanah yang diambil
secara undisturbed, serta data permabilitas tanah dari hasil pengujian
permeabilitas di laboratorium. Data kondisi tanah tersebut disajikan sebagai
berikut ini.
Tabel 1. Data Hasil Pengujian
Laboratorium Mekanika Tanah
Tabel 2.
Data Permeabilitas Tanah
Berdasarkan data tanah yang
didapatkan, disimpulkan bahwa jenis tanah di kawasan Monas berupa tanah lempung
coklat dan abu-abu dengan nilai kohesi c antara 0,192 – 0,298 kg/cm2,
dengan permeabilitas tanah antara (4,6 – 8,7) 10-7 cm/dt yang
mengindikasikan juga jenis tanah lempung. Jenis tanah lempung yang
terdapat di kawasan Monas dengan nilai permeabilitas di atas menandakan kemampuan
tanah untuk meresapkan air sangat kecil.
Penurunan muka air tanah dan Land Subsidence
Menurut data dari BPLHD, terjadi
penurunan muka air tanah yang cukup signifikan mencapai 10 – 40 m selama 45
tahun, atau sekitar 0,2 – 0,9 m/tahun. Penurunan muka air tanah di Kota
Administrasi Jakarta Pusat terjadi rata-rata sekitar 0,2 – 0,5 m/tahun.
Penurunan muka air tanah ini disebabkan oleh pengambilan air tanah oleh
industri dan perkantoran yang melebihi imbuhan air ke dalam tampungan air
tanah. Data menunjukkan pengambilan air tanah di DKI saat ini mencapai 253 juta
m3/th, defisit sekitar 67 juta m3/th terhadap ambang
batas sebesar 186 juta m3/th. Imbuhan air tanah berasal dari air
hujan, dimana per tahun rerata air hujan yang jatuh di DKI sekitar 2000 juta m3,
26% nya meresap mengisi air tanah dangkal. Dari 532 juta m3/th yang
masuk ke tampungan air tanah dangkal tersebut, hanya 30 jt m3 yang
mengisi tampungan air tanah dalam. Defisit air tanah tersebut berdampak pada
terjadinya penurunan muka air tanah dan intrusi air asin.
Anilisis dari penurunan muka air
tanah tersebut, memunculkan dampak terjadinya land subsidence yang
menurut data dari JICA (1997), mencapai 5 – 10 cm/tahun di DKI. Sedangkan
intrusi air asin sudah masuk ke daratan sejauh 3 km di air tanah dangkal dan
mencapai 10 km di air tanah dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar